Membincang soal Jarak

Selama pandemi COVID-19 ini, istilah social distancing yang kemudian direvisi menjadi physical distancing seolah menjadi mantra untuk mengatur bagaimana seharusnya kita berinteraksi demi menekan angka penularan penyebaran wabah ini. Tulisan ini akan membahas bagaimana jarak itu dibentuk dan dapat dikendalikan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka penyebaran COVID-19.

o-img-27310-meme-social-distance-yang-bikin-ngakak
Source: https://m.mobimoto.com/motor/2020/03/22/110000/kocak-5-meme-social-distancing-ini-bisa-jadi-hiburan-saat-gabut-di-rumah

Berbicara mengenai jarak tentu erat kaitannya dengan gerakan (motion). Ini mengingatkan saya kepada Tim Ingold, seorang antropolog Inggris, dalam bukunya Being Alive: Essays on Movement, Knowledge, and Description (2011) menunjukkan kerja antropolog yang dilematis. Menurutnya, antropologi adalah ilmu yang sering dianggap tidak terlalu eksperimental. Antropologi memang tidak dapat membantu penyelesaikan masalah sehari-hari tetapi dapat berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sebab tugas utama dari antropolog itu adalah mengamati dan menjelaskan apa yang ia temukan lalu membuat teori atas itu. Tetapi, karena keterlibatannya itu juga sedikit banyak akan mempengaruhi penyelesaian masalah tersebut. Itulah sebabnya mengapa Ingold menulis clearing on the ground untuk meluruskan bahwa antropologi itu juga merupakan ilmu yang eksperimental tetapi tidak membutuhkan sejumlah instrumen khusus seperti yang disyaratkan dalam produksi ilmu pengetahuan sekarang ini untuk dapat menjustifikasi obyektifitas. Hal semacam itu, menurut Ingold, justru menjauhkan antropolog untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang seharusnya dapat dijawab oleh antropolog secara gamblang.

images (7)

Argumen dari Ingold ini tentu saja mengandung suatu pemahaman menarik tentang jarak. Dalam konteks tertentu, mengatur jarak itu justru lebih sering dipengaruhi oleh faktor diluar diri sendiri. Ini seperti konsep alienasi dari Marx yang menyoroti bagaimana buruh pabrik dijauhkan dari hasil produksinya sendiri. Padahal, menurut Ingold, seperti dalam kerja-kerja para antropolog, jarak memang diperlukan tetapi dengan kadar dan waktu yang ditentukan oleh si antropolog itu sendiri. Alasannya jelas karena seorang antropolog secara sadar bahwa obyektifitas kerja yang mereka lakukan itu sangat lekat dengan proses eksperimental dengan mengandalkan pengalaman untuk merasakan langsung suatu set peristiwa sehingga jawaban atas pertanyaan penelitian tidak terjebak pada subyektifitas satu pandangan tertentu. Hal ini yang sebenarnya cukup penting dalam menyadari pentingnya pengaturan jarak atas diri sendiri untuk dapat menemukan obyektifitas dari sebuah jawaban.

Jarak juga erat kaitannya dengan ilmu fisika. Dalam ilmu fisika, jarak (distance) didefinisikan dalam scalar quantity yang merupakan total jarak yang dibutuhkan oleh suatu objek/material untuk mencapai suatu titik. Fisikawan yang berkaitan dengan jarak ini tidak lain adalah Issac Newton. Ia terkenal dengan 3 hukum dasar gerak yang menjadi dasar mekanika klasik. Ketiga hukum itu, secara ringkas, menjelaskan bahwa jarak sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar untuk dapat mengatur jaraknya. Selain itu, nilai antara objek dan subjek untuk perpindahan itu memiliki nilai yang sama sehingga untuk menentukan kecepatan sangat ditentukan oleh massa dari si penggerak dan yang digerakkan. Contohnya tentu saja jika seorang menendang bola voli dengan bola bowling akan berbeda kecepatan bola untuk mencapai suatu titik.

Pembahasan mengenai jarak ini mengarahkan kita pada suatu kesimpulan bahwa mengatur jarak itu sangat ditentukan oleh faktor dari luar yang dipadukan dengan adanya kekuatan dari material itu sendiri. Interpretasi saya dari apa yang telah saya bahas diatas berupaya untuk mengilustrasikan pentingnya negara yang memiliki power dengan kebijakannya dipadukan dengan adanya suatu kesadaran dari masyarakat untuk menekan angka penyebaran wabah ini. Ketika negara memiliki dasar untuk membuat kebijakan yang kuat untuk melindungi keselamatan warga negaranya, niscaya itu akan mempengaruhi kesadaran dari masyarakat sehingga boleh jadi mempercepat tujuan untuk menekan penyebaran wabah ini.

Saya teringat suatu sifat dasar manusia jika ditelisik dari evolusi sosial yang menjadi argumen dari Pyotr Kropotkin dalam Mutual Aid: A Factor of Evolution (1902). Menurutnya, manusia akan cenderung menghindari bahaya. Itu adalah sifat yang menurut Kropotkin dapat ditemukan dalam setiap peradaban manusia. Kropotkin kemudian melanjutkan analisisnya bahwa sifat menghindar dari bahaya ini tidak dilakukan secara sendiri-sendiri sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh manusia sekarang seperti menimbun kekayaan atau berkompetisi untuk mendapatkan kedudukan tertentu lalu masuk dalam jebakan hirarki Maslow. Kropotkin menjelaskan bahwa manusia cenderung menghindari bahaya dengan cara membangun jejaring keamanan dengan sesamanya untuk dapat memenuhi kebutuhan dan terhindar dari ancaman yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri dan anggota dalam komunitasnya. Akhirnya, perpaduan antara kebijakan yang kuat dengan landasan keselamatan serta penguatan sesama anggota masyarakat dengan mutual aid akan menjadi suatu kesatuan yang patut dipertimbangkan dalam menghadapi situasi sulit seperti saat ini dan bahkan di waktu yang akan datang.

Sekian dari saya. Tetap dirumah, jaga kondisi tubuh, dan tetap berdoa agar pandemi ini segera berakhir.

Kalimantan Barat, April 2020.

Leave a comment