UBI dan kemungkinannya (?)

Seorang pemuda berumur 22 tahun telah keluar rumah sejak pukul 6 pagi. Tidak selayaknya pekerja dengan seragamnya, ia hanya menggunakan sarung dan kaus oblong. Di pos ronda, dia duduk. Melamun, tanda ia sedang bekerja. Beruntung pos ronda tersebut menyediakan water dispenser dan gelas sehingga ia hanya perlu mampir sebentar di warung sebelah pos ronda. Ia keluar dari warung itu dengan satu sachet kopi dan beberapa batang rokok. “Iye ntar gua bayar beh. Selow”, begitulah kata-kata yang selalu terdengar saat ia berjalan keluar warung menuju pos ronda. Dalam kerjanya, ia membuat suatu pemikiran luar biasa: “Andai gua pagi-pagi nongkrong gini aja bisa dibayar negara tiap bulan, udah gua bikin nih pos ronda jadi pusat informasi keamanan kampung”.

Saat sedang asyik bekerja, gangguan dari kaum kerja modern-ortodoks. “Het dah bocah ngayal mulu. Ngopi apa ngopi!

Apa yang saya tulis diatas mungkin sedikit gambaran mengenai ke-mustahil-an dalam mendapatkan uang secara cuma-cuma. Jelas ini menjadi hal yang sangat tidak mungkin, atau justru hanya tidak relevan. Terlihat ketika memasuki tahun-tahun politik, kata pembawa berita ataupun talkshow televisi, tidak ada satupun partai atau politisi yang membawakan tema ini sebagai materi kampanye. Padahal kemungkinannya ini akan jauh lebih rasional dibanding harus mempersenjatai diri dengan, sorry to say, agama. Meskipun demikian, beberapa negara di dunia seperti sudah mulai berpikir tentang pemberian uang tunai secara Cuma-Cuma kepada orang-orang yang memerlukan uang, bukan hanya membutuhkan. Tulisan ini mungkin bagi sebagian pembaca dianggap sebagai suatu rengekan dari orang-orang yang tidak punya uang atau kesulitan mencari uang. Lebih buruknya mungkin juga beberapa pembaca akan menganggap ini sebagai sebuah gugatan yang ditulis oleh pemalas. Tapi yang perlu diingat adalah potensi akan berbagai kemungkinan di masa depan, termasuk kelangkaan uang.

anti-bi-pic.
Source: basicincome.org

Dalam artikel yang diterbitkan oleh The Guardian (19/1) dijelaskan bahwa ada sekelompok orang kini sedang menggodok mekanisme Universal Basic Income (UBI). Ini merupakan suatu skema dimana setiap orang yang berada dalam usia produktif layak untuk mendapatkan uang secara Cuma-Cuma setiap bulan ataupun tahun. Siapa yang memberi? Tentu negara. Pertanyaan selanjutnya jelas akan mengarahkan pada pertanyaan mengenai cara negara mendapatkan uang untuk diberikan pada banyak orang yang sangat sanggup bekerja. Tulisan ini akan membahas terlebih dahulu hal-hal dasar yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum masuk dalam ranah teknis seperti itu.

 

Sebuah laporan dari salah satu NGO (non-government organization) menjelaskan ketimpangan kekayaan beberapa tahun belakangan semakin menguat. Hal ini diperparah dengan sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan upah layak serta jaminan sosial yang baik belakangan ini. Jelas ini merupakan kabar yang buruk. Kabar baiknya, hasil ini merupakan gambaran seluruh dunia yang artinya itu terjadi dimana-mana dan tidak hanya di Indonesia. Dalam laporan tersebut juga memperkirakan bahwa pada tahun 2030 kondisi tidak membaik namun justru semakin buruk. Dalam suatu studi memperkirakan bahwa pada tahun 2030, 1% orang kaya dunia akan memegang 64% seluruh kekayaan dunia. Ini artinya bahwa setiap tahunnya uang yang didapatkan oleh seseorang akan dibelanjakan dan terkumpul pada 1% orang kaya tersebut. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Ada banyak sebab seperti monopoli, kekuatan branding, dan sebagainya sehingga pasar hanya menyediakan barang yang sebenarnya milik orang-orang itu aja. Lalu apa hubungannya dengan UBI? Hubungannnya bahwa hal jelas jelas berdampak pada kemungkinan atas kelangkaan uang. Artinya seperti kasus minyak tanah di Indonesia jaman gak enak, ada yang nimbun. Kalau minyak tanah adalah komoditas, maka uang juga nantinya akan menjadi demikian. Sangat sulit untuk mendapatkan uang sehingga cara-cara yang ditempuh untuk mendapatkannya harus dilalui dengan penderitaan. Seperti mengantre minyak tanah jaman gak enak itu pas ada operasi pasar.

 

Beberapa negara eropa sedang mengkaji untuk mekanisme UBI ini. Isu yang menjadi urgensi di negara-negara tersebut tidak lain adalah mekanisasi (atau robot-isasi) yang diperkirakan akan memangkas waktu kerja menjadi hanya 4 hari kerja saja. Ini menjadi suatu kegelisahan sendiri sebab beberapa pemimpin perusahaan akan cenderung melakukan efisiensi, seperti upah yang berkurang karena memang dikontrak dengan upah per-jam atau bahkan pengurangan tenaga kerja. Partai buruh di beberapa negara sedang bekerja untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Ide UBI ini muncul dari segelintir kalangan dengan sebutan (atau disebut oleh media) sebagai post-work. Premis awal yang digunakan bahwa kelompok ini percaya bahwa dengan mekanisme UBI ini akan banyak kegiatan yang sebetulnya juga menggerakkan perekonomian dengan semangat berbeda. Memang banyak studi psikologis menjelaskan bahwa hari ini orang lebih banyak merasa “lebih baik” saat bekerja (atau berada di tempat kerja) dibandingkan saat bersantai di rumah. Gagasan UBI ini memang menjadi “produk” dari kelompok post-work(ist) yang paling radikal dan tentunya menuai pro dan kontra.

 

Diluar itu semua, saya baru saja berpikir seturut penulisan ini. Uang ini aneh ya. Bisa juga berarti pada suatu ketika itu menjadi langka, meski ini pikiran saya sendiri. Karena ini blog, jadi sah-sah saja kalau saya berkata seperti itu. Dasarannya apa? Ya analisis saya sendiri, tapi maaf tidak bisa saya jelaskan karena blog bukanlah jurnal ilmiah. Saya akan menyempatkan menulis tentang UBI dan premis-premis serta kemungkinannya pada postingan selanjutnya. Tapi yang jelas kalau di Indonesia isu UBI ini menjadi naik daun, hati-hati dibilang subversif ya. Paling utama kalau mau membahas ini di Indonesia harus banyak bersabar dengan orang-orang yang akan berkata, “mau dapet duit kok nggak kerja”.

 

Kecuali kalau Anda adalah seorang anak konglomerat.

2 thoughts on “UBI dan kemungkinannya (?)

  1. Ada narasi menarik yang aku tangkap dari tulisanmu ini Dik, apakah suatu ketika uang bisa menjadi langka? Bagi saya, itu suatu hal yang mustahil. Artinya, pada kondisi langka, ada peran manusia yang menganggap jika uang bukanlah segalanya, sehingga uang ‘tidak’ lagi menjadi orientasi kebutuhan. Ini seperti mengingat kembali apa yang dikatakan Polanyi, bahwa istilah ‘ekonomi’ itu bermakna ‘subtantif’ bukan ‘formal’; universal basic income sebagai cara menyusun kembali gagasan welfare state (negara kesejahteraan). Jelasnya, apa yang kamu tulis ini memuat pemahaman tentang kecenderungan ‘krisis kapitalisme’, bahwa–meminjam gagasan Rosa Luxemburg–krisis kapitalisme akan terjadi ketika output yang dihasilkan oleh kapitalisme (lebih kecil) berbanding terbalik dengan konsumsi permintaan (lebih besar). Tenaga kerja di eksploitasi. Mereka menerima sedikit nilai yang dibelanjakan, daripada yang dihasilkan; adanya kewajiban dari kapitalis bagi para pekerja untuk menginvestasikan kapitalnya daripada mengkonsumsi kapitalnya sendiri. Nah, ide UBI dalam pandangan saya untuk mengakomodir kondisi yang disebut Luxemburg itu. Balik lagi pada tulisanmu, seperti “ini menjadi suatu kegelisahan sendiri sebab beberapa pemimpin perusahaan akan cenderung melakukan efisiensi, seperti upah yang berkurang karena memang dikontrak dengan upah per-jam atau bahkan pengurangan tenaga kerja”. Nah, narasi ini ‘persis’ seperti gagasan Marx tentang ‘tentara cadangan industri’; menekan biaya produksi dan meminimalkan upah buruh (tujuan agar si kapitalis bisa tetap bertahan dan bersaing). Harvey melihat ‘tentara cadangan industri’ sebagai cara bertahan dalam krisis kapitalisme, bahwa dengan melakukan PHK, akan ada calon pekerja (pengangguran) yang menunggu untuk bekerja. Para pengangguran itu sebagai salah satu strategi akumulasi kapital; mereka harus mau untuk menerima syarat dan aturan dari si kapitalis. Intinya menjaga agar si kapitalis tetap untung. Nah, skema pemberian uang dalam UBI menurutku salah cara untuk mempersiapkan ‘tentara cadangan industri’ agar tidak terlalu menentang. Satu lagi, pemberlakuan UBI itu mahal, akan banyak APBN yang dipakai. Menariknya, UBI adalah salah satu fokus IMF dalam laporan Fiscal Monitor 2017. Lagi-lagi IMF, ta tahulah gimana ‘brengsek’ nya IMF itu pak. Kata Harvey, accumulation by dispossession–seperti akumulasi primitfnya Marx, tapi lebih cangih–bisa dilihat dari cara kerja IMF.

    Aku ki nulis opo to yo, hahaha.. At least, tulisanmu menarik, Dik. Apalagi tentang, apakah suatu ketika uang itu langka? ..

    1. Sebetulnya kelangkaan uang itu murni hanya ide liar saja tanpa rujukan yang jelas. Kalau kemudian fokusnya dalam penjelasan cadangan tenaga kerja artinya itu cenderung mengarah pada surplus pekerja relatif. Namun memang sebenarnya gagasan UBI ini, dalam pandangan saya, tidak merujuk pada bentuk kerja formal sekarang. Asumsi UBI, yang terkesan seperti bayangan kehidupan oleh kaum hippies, adalah semakin kreatifnya manusia. Kalau dilihat IMF mulai menaruh perhatian, berarti jelas ada kemungkinan korelasinya dengan potensi pasar dan persaingan sempurna yang didambakan kaum neolib tersebut.
      Penekanan saya pada kelangkaan uang ini sebenarnya jauh berbeda dengan asumsi dari penggagas UBI bahwa yang menjadi klausal utama justru mengenai penetrasi teknologi dan moralitas (bisa dilihat dari uraian Graeber). Ini seolah menegaskan bahwa kaum post-workist sangat menaruh perhatian pada ketimpangan dibanding dengan hak-hak pekerja, yang memang sudah bertahun-tahun disuarakan kaum Marxist. Seperti kata James Ferguson, “Give a man fish!”

      Btw terima kasih atas komentarnya dan apresiasinya. Jika ada kesempatan bertemu mungkin akan lebih seru lagi yaa.
      Salam

Leave a comment