Tanah yang tumbuh uang

Opini mengenai kelompok pedagang dan komodifikasi uang dalam transisi agraria

Produktifitas menjadi satu aspek yang paling penting dalam perubahan agraria. Apa yang dikatakan sebagai produk adalah hasil bumi dan produktifitas adalah tentang kuantifikasi atas hasil tersebut. Setidaknya ini adalah klausal dari ciri perkembangan kapitalisme dalam sektor agraria. Henry Bernstein[i] menekankan bahwa pertukaran hasil-hasil pertanian ke dalam bentuk uang terjadi saat transisi pertanian substensi menuju industrialisasi. Salah satu penyebabnya adalah ekspansi dagang yang melibatkan komunitas internasional yang akhirnya mengintegrasikan kebutuhan global pada lahan-lahan pertanian skala kecil, salah satunya di Asia Tenggara.

Tulisan ini merupakan sebuah telaah antropologis bagaimana uang mungkin menjadi suatu komoditas yang muncul dalam transisi agraria. Saya cukup terkejut ketika salah satu kontestan pemilu 2019 membuat video bagaimana cara mendongkrak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dengan cara meningkatkan produktifitas sawit untuk ekspor. Bagi saya, ini menjadi sebuah lelucon yang tidak lagi baru. Tetapi uniknya, video ini seperti menjustifikasi pandangan si pengunggah bahwa nilai rupiah itu adalah representasi dari kekuatan serta kemakmuran suatu negara. Tidak usah muluk-muluk membicarakan bagaimana kehidupan rumah tangga para buruh di perkebunan sawit. Jika rupiah menguat, maka kehidupan buruh itu juga tidak akan sulit-sulit amat. Mungkin begitu harapan (atau memang sudah jadi kepercayaan) bagi si pengunggah itu.

Ada 3 kategori masyarakat menurut Bernstein mengacu pada relasi sosial dalam sektor agraria, pertama masyarakat subsistensi, kedua agraris, dan ketiga masyarakat kapitalisme. Dalam setiap kategori tersebut, selalu ada cara bagi produsen (petani) dalam bertukar-tukar untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. Sebagian besar masyarakat di Indonesia sekarang ada dalam kategori kapitalisme dimana relasi sosial terbentuk dalam kelas-kelas berdasarkan kepemilikan aset dan alat produksi. Masyarakat dalam kategori ini terbagi dalam 3 kelas, yaitu pemilik tanah, pemilik kapital-agraria, dan buruh tani. Corak kapitalisme dalam masyarakat petani di Indonesia utamanya bukan pada relasi ketat antar kelas ini, tetapi hadirnya uang sebagai variabel penting dalam masyarakat petani.

Pembagian kategori ini memang kental dengan sudut pandang Marxian mengenai proses produksi komoditas dan cenderung tertutup. Namun yang cukup penting adalah kenyataan bahwa di Indonesia seringkali ini bersifat lebih cair. Seseorang dapat menjadi pemilik tanah, pemilik kapital agraria, bahkan buruh tani dalam satu musim. Ini terutama terjadi pada kepemilikan tanah dalam skala kecil, biasanya rumah tangga. Sifat dari tenaga kerja untuk pertanian pada lahan-lahan skala kecil tidak selalu dibayangkan pada eksploitasi tenaga kerja serta mengeklusi dari jenis tenaga kerja formal. Hampir tidak ada tenaga kerja formal yang diberikan gaji bulanan, diberi fasilitas rumah tinggal, asuransi, dsb, pada lahan-lahan pertanian skala kecil di Indonesia. Hubungan eksploitatif yang mengalienasi tenaga kerja dari lahan serta alat produksi mungkin dapat dilihat dari lahan-lahan perkebunan skala besar milik perusahaan multinasional.

DSC02597
Highland farming

Meskipun demikian, jenis tanaman yang berorientasi pada pasar menjadikan pertanian skala kecil di Indonesia menjadikan uang sebagai suatu komoditas bagi petani. Mungkin ini akan tidak sambung dengan analisis kelas dalam perubahan agraria dari sebagian besar Marxian. Tetapi ini menarik bahwa dalam sejarah, produktifitas petani membutuhkan suatu ukuran pertukaran. Seperti perbedaan antara subsistensi, agraris, dan kapitalisme. Pertukaran dalam ketiga kategori tersebut menggunakan perangkat yang berbeda. Subsistensi dengan cara menyimpan sebagian hasil untuk ditanam pada musim berikutnya dan sebagian lagi dikonsumsi atau dipertukarkan dengan kebutuhan lain. Ini juga mungkin terjadi dalam masyarakat agraris dimana hasil bumi dibagi untuk disimpan, dikonsumsi, dan pembayaran upeti pada kerajaan/kebutuhan persembahan. Titik penting dalam masyarakat yang tidak bercorak kapitalisme adalah, komoditas terpusat pada hasil bumi. Ini juga yang utama dilihat oleh konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen dalam kategori masyarakat ini terbatas pada tanaman apa yang dihasilkan dari tanah Anda.

Ekspansi dagang yang menjadi salah satu variabel transisi agraria menuju kapitalisme memungkinkan uang menjadi salah satu komoditas pada masa ini. Relasi antara produsen dan konsumen bukan lagi terbatas pada apa yang ada di tanah Anda. Ada pertanyaan lanjutannya,  berapa harga panen di tanah ini. Ini terutama dilakukan oleh pedagang, atau spekulan, yang datang sebelum masa panen. Hal ini terutama terjadi pada pertanian skala kecil dan tidak terlalu dilirik oleh investor. Seperti halnya dataran tinggi yang hanya dapat ditumbuhi sayur-sayuran atau jagung dengan masa panen yang lebih panjang dibanding wilayah dibawahnya.

Pertanyaan mengenai nilai dari hasil panen ini yang membuat petani justru berlomba-lomba untuk menanam tanaman berorientasi pasar, kemudian merawatnya dengan baik, tetapi bukan mereka yang memanen serta menjual. Ini juga menjadi peluang bagi petani tunakisma yang dipekerjakan hanya untuk panen saja, yang mempekerjakan tentunya adalah pedagang tersebut dan bukan pemilik lahan. Mengapa tanaman pasar mendominasi pertanian lahan kecil? Alasannya karena harga jual komoditas lain sangat rendah dan jika satu lahan itu berisikan tanaman campuran, uang yang didapatkan lebih sedikit. Ini yang membuat lahan pertanian skala kecil lebih mirip kebun kebun monokultur dengan sistem kerja rumah tangga.

Jika dibandingkan dengan efisiensi, maka rasionalitas diuji. Pedagang membeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan petani itu menjual sendiri ke pasar. Tetapi, mengapa petani mau? Alasannya karena pedagang di pasar juga memainkan harga jika petani sendiri yang menjual ke pasar. Ini yang membuat ukuran produktifitas sebenarnya menjadi seragam. Kebanggaan sektor agraria di Indonesia masih didominasi dari perkebunan kelapa sawit yang memberikan pemasukan negara cukup tinggi.

Munculnya kelompok pedagang pada transisi agraria pada lahan-lahan pertanian skala kecil di Indonesia membawa kenyataan baru. Produktifitas tidak selalu terlihat dari kuantifikasi hasil bumi yang nyata dari suatu petak lahan pertanian. Lebih dari itu, uang mungkin saja menjadi suatu komoditas baru dalam lahan-lahan pertanian skala kecil dan sektor agraria pada umumnya pada abad ini.

[i] Bernstein, Henry. 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Insist Press. Yogyakarta.

Leave a comment